Rabu, 21 Agustus 2013

Kajian Kontemporer SEF UGM: Di Balik Pengelolaan Dana Haji Apa dan Bagaimana


Kajian Kontemporer SEF UGM perdana diselenggarakan pada Rabu, 13 Maret 2013 menguak pengelolaan dana haji dengan menghadirkan pembicara Bhima Yudhistira-peneliti di Shariah Corner FEB UGM serta moderator Shufi Al Ichsanu Brata-Kepala Departemen Kajian SEF UGM.

Saat ini ekonomi syariah diidentikkan dengan memenuhi pasar tenaga kerja bank syariah yang disinyalir merupakan produk kapitalis. Sebagai bagian dari lingkup ekonomis syariah, pengelolaan dana haji menjadi topik pada ekonomi syariah di sektor publik yang menarik untuk dikritisi. Bagaimana pengelolaan sisa dana haji 58 triliun rupiah di Kementrian Agama?

Saat ini pemerintah cenderung lebih concern pada hal teknis seperti catering dan pelayanan teknis lainnya sedangkan hal-hal kecil yang penting seperti sisa dana masyarakat yang jumlahnya menggembung malah tak tersentuh. Perbandingan studi dengan Malaysia, sisa dana haji digunakan untuk mengambil alih perkebunan kelapa sawit di Indonesia sehingga produktivitas dana haji sangat tinggi di Malaysia. Sedangkan jika kita tengok Indonesia, total jumlah tabungan haji Indonesia mencapai 32 triliun dari hasil deposit lebih kurang 1,4 juta daftar tunggu haji di Indonesia. Dari 32 triliun tersebut di simpan di perbankan syariah sebanyak 18,2 persen sebesar 60 persen tersimpan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan di simpan di bank konvensional 21,8 persen. Bhima Yudhistira menyebutkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa pelaporan mengenai penggunaan dana tabungan haji tidak lengkap seperti data pada tahun 2003 tidak ditemukan data aliran dana tersebut.

Dana Abadi Umat dalam rupiah diunakan untuk membeli sukuk (Surat Berharga Syariah Negara). Sukuk adalah surat utang obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan untuk hal-hal produktif (sektor riil). Negara menerbitkan sukuk untuk membiayai anggaran APBN sebesar 783 M. Pemanfaatan dana haji masih terbatas pada financial sector belum banyak menyentuh sektor riil.

Pertanyaanya, mengapa disimpan dalam bentuk sukuk berupa rupiah maupun dollar? Mengapa harus 783M? Salah satu alasan dari hasil analisisnya, Bhima Yudhistira menyebut teori financial management dalam hal diversifikasi risiko. Portfolio management dalam mereduksi risiko keuangan menjadi alasan mengapa investasi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa. Jika secara teknis, pelaku lapangan selalu menjawab bahwa hal tsb adalah perintah dan titah dari atasan, hal ini cukup aneh. Hipotesis yang muncul adalah adanya ketidakmampuan mengelola dana haji tersebut.

Dana Abadi Umat (DAU) disimpan dalam Deposito (Rupiah), Deposito (US$), Sukuk (SBSN), investasi lain (saham Bank Muamalat dan bank lainnya baik konvensional maupun syariah). Sebenarnya investasi dana haji dapat disalurkan dalam hal lain, misalnya bangunan tempat penginapan yang selalu digunakan untuk menginap jamaah haji di Arab Saudi dapat dibeli dengan uang tsb. Akan tetapi politik dan birokrasi selalu menjadi “excuse” tentang sulitnya mengambil kepemilikan tanah penginapan tsb. Threat yang mungkin muncul yang terus diselidiki KPK ialah celah-celah yang dapat ditimbulkan dari ketidakmampuan mengelola keuangan di Kementrian Agama.

Sosialisasi mengenai pengelolaan dana abadi umat sangat penting. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Oleh karena itu, pengelolaan dana tsb harus berhati-hati. Belakangan wacana menyimpan dana abadi umat di bank syariah muncul sehingga pengalokasian dana  untuk menggerakkan sektor riil yang syariah terus digerakkan. Akan tetapi untuk menangani dan memutar uang sebanyak itu tampaknya bank syariah masih kesulitan. Namun terlepas dari isu tersebut, terdapat permasalahan yang jauh lebih penting menurut narasumber, yaitu keadilan. Ketika sektor-sektor riil masih membutuhkan dana, maka pengalokasian dana pada US$ itu menjadi suatu bentuk ketidakadilan, jelas Bhima Yudhistira menanggapi sesi diskusi dalam Kajian Kontemporer tiap sebulan sekali oleh SEF UGM. (Dept. Kajian-SEF UGM)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar