Minggu, 10 April 2011

Pandangan Islam terhadap Kegiatan Jual-beli Mata Uang

Di sini kita akan menilai pandangan Islam terhadap uang dengan melihat dari segi realitas. Maksudnya, kita akan menilai apa pengaruh kegiatan jual-beli mata uang terhadap kegiatan perekonomian pada kenyataannya, sehingga kita akan memahami alasan dibalik pandangan Islam terhadap kegiatan ini. Tetapi, sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami apa itu uang.

Uang ialah sesuatu yang diterima umum sebagai alat pembayaran yang syah. Coba kita telusuri definisi ini kata demi kata untuk mendapat pemahaman yang lebih mendetail. Sesuatu,  berarti uang dapat berbentuk apa saja. Diterima umum, berarti digunakan oleh masyarakat luas. Alat pembayaran, berarti digunakan sebagai tool of payment atau medium of exchange. Syah, berarti legal atau diakui oleh pemerintah. 

Sejarah Singkat Perkembangan Uang

Dahulu, saat uang belum ditemukan, jual-beli dilakukan dengan cara barter, yaitu barang dipertukarkan dengan barang. Seseorang membutuhkan barang A dan memiliki barang B. Ia harus memiliki orang yang membutuhkan barang B dan ingin menukarnya dengan barang A. Akibatnya, akan menimbulkan rasio tukar sebanyak barang yang ada. Jika misalnya ada 3 barang yang diinginkan, contohnya brang A, B, dan C. Maka, masyarakat harus menentukan rasio tkar untuk tiap barang tersebut. Contohnya, satu barang A = 2 barang B dan satu barang B = dua barang C, dan seterusnya. Padahal, kebutuhan manusia amat banyak. Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika setiap barang harus dibut rasio tukarnya.

Masalah lain dalam sistem barter adalah perlu terjadinya “keserasian ganda keinginan” (double coincidence of wants) untuk mencapai transaksi. Contohnya, seperti di atas. Seseorang membutuhkan barang B dan memiliki barang A. Ia menemukan orang yang memiliki barang B, tetapi tidak membutuhkan barang A, melainkan barang C. Akibatnya transaksi tdak dapat terjadi. Orang itu harus menemukan orang yang memiliki barang B dan membutuhkan barang A agar transaksi dapat terjadi. Inilah “keserasian ganda keinginan”. Jika syarat keserasian ganda ini tidak terpenuhi, tidak akan terjadi barter. Ditambah lagi, ketika sudah menemukan orang yang cocok mereka masih harus menyepakati rasio tukarnya. Berbagai masalah dalam sistem barter inilah yang membuat perekonomian masa itu tidak berkembang. 

Lalu, tiba masa uang barang. Barang tertentu dipilih, disepakati, dan ditetapkan sebagai perantara perdagangan. Rasio tukar barang lain dengan barang ini ditetukan. Barangnya bermacam-macam, seperti kulit kambing, tembaga, cangkang kerang, emas, perak, dan barang lain. Penggunaan uang barang memang mempermudah berbagai kegiatan ekonomi karena adanya rasio tukar yang jelas antara tiap barang dengan uang barang yang disepakati. Tetapi, usia penggunaan setiap uang barang ini juga cenderung singkat, karena masyarakat kemudian menyadari kekurangan dari berbagai uang barang tersebut. Contohnya, Uang berbahan kulit tanaman dan kulit binatang menghadapi masalah keawetan (durability).

Dari semua uang barang, uang emas dan perak merupakan uang barang yang paling diterima dan paling bertahan lama. Tetapi, kemudian uang logam mulia ini menghadapi masalah nilai, yaitu perbedaan antara nilai nominal (sebagai uang) dan nilai instrinsik (nilai sebagai barang). Contohnya, nilai emas di pasaran 300 ribu/gram. Tetapi, nilai uang yang terbuat dari satu gram emas saat ini hanya 200 ribu/gram. Akibatnya, pemilik uang lebih memilih melebur uang emas menjadi barang. Akibatnya uang hilang di peredaran. Selain itu, masih ada juga masalah kepraktisan. Koin-koin yang terbuat dari emas dan perak cenderung berat dan sulit dibawa.

Jika kita rangkum semua pembahasa di atas, semua jenis uang menghadapi masalah kemudahan untuk dikenali (cognizability), kemudahan untuk direcehkan (divisibility), keluwesan untuk digandakan (elasticity of supply), dan kemudahan untuk dibawa-bawa (portability). Jadi, kita sekarang memahami mengapa uang kertas digunakan sekarang. Karena uang kertas memenuhi semua kebutuhan di atas.

Uang kertas tidak memiliki kelemahan seperti uang logam mulia. Uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik. Kita menerima dan mengakuinya sebagai uang semata-mata berdasarkan kepercayaan (fiat standard). Jadi, jika misalnya BI tahun ini mencetak rupiah senilai Rp 1 trilyun, tidak berarti tahun ini Indonesia memiliki cadangan emas dengan nilai sebanyak itu.


Pandangan Islam terhadap Uang 

Sebelum kita berbicara tentang pandangan ekonomi Islam terhadap uang dan segala transaksi yang berhubungan dengannya, kita pahami dulu teori tentang uang menurut ekonomi konvensional. Pertama, fungsi uang menurut teori konvensional. Ada tiga fungsi, yakni sebagai 1) medium of exchange (alat pertukaran) 2) unit of account (satuan nilai), dan 3) store of value (sarana penyimpanan kekayaan).

Kedua, alasan orang memegang uang seperti yang disampaikan J.M. Keynes. Alasan orang memegang uang menurut teori konvensional adalah karena 1)motif transaksi, 2) motif berjaga-jaga, dan 3)motif spekulasi.

Ketiga, masalah portofolio kekayaan. Portofolio kekayaan adalah komposisi jenis dan jumlah kekayaan. Contohnya, ketika seseorang memiliki banyak uang, ia dapat menyimpan uang itu dalam berbagai bentuk, seperti uang tunai, tabungan, atau penyimpanan lainnya. Ada delapan bentuk untuk menyimpan kekayaan yang dimiliki, yakni dalam bentuk uang tunai, simpanan atau tabungan, harta tak bergerak, harta bergerak, logam mulia, sekuritas, dan valuta asing. 

Nah, berikut adalah pandangan ekonomi Islam terhadap ketiga masalah di atas. Pertama, mengenai fungsi uang dan motif orang menyimpan uang. Islam tidak mengakui fungsi uang sebagai sarana penyimpanan kekayaan (store of value) dan motif orang menyimpan uang untuk motif spekulasi. Selain itu, menurut Islam alasan orang menyimpan uang adalah untuk transaksi dan investasi. Motif berjaga-jaga dianggap sudah termasuk dalam kedua motif tersebut.

Masalah muncul di portofolio kekayaan. Pada poin kedelapan kita bertemu dengan cara menyimpan kekayaan dalam bentuk valuta asing. Islam tidak mengakui bentuk penyimpanan uang dalam bentuk valuta asing. Valuta asing seharusnya hanya digunakan sebatas untuk kebutuhan transaksi luar negeri. Tetapi, jika valuta asing sudah digunakan sebagai penyimpanan kekayaan, maka fungsinya sudah berubah sebagai alat untuk mendapat keuntungan melalui spekulasi terhadap perubahan nilai tukar mata uang.

Niat untuk spekulasi inilah yang dilarang oleh Islam. Jika niat dalam membeli valuta asing adalah sebagai media transaksi internasional, maka diperbolehkan. Tetapi, jika niatnya adalah untuk memperoleh keuntungan melalui spekulasi, maka Islam melarang keras.

Masalah Spekulasi, Riba, dan Akhirnya Kembali ke Bunga

Sekarang, mari kita memperlebar sedikit ruang lingkup kita. Masalah spekulasi selalu menjadi masalah di sektor finansial kita, baik di pasar uang maupun pasar modal. Investasi terbagi menjadi dua, yakni investasi langsung dan investasi tidak langsung melalui jual-beli surat berharaga. Cara kedua inilah yang rawan spekulasi.

Masalah spekulasi menyebabkan jurang yang amat besar dalam investasi di sektor riil dan investasi portofolio di sektor keuangan. Volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1.5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 triliun setiap tahun (Rasio 500:6).

Spekulasi akan berakibat riba, masalah besar bagi ekonomi Islam. Padahal, jika tak ada riba, kondisi berikutlah yang mungkin terjadi
  1. Absensi riba dalam perekonomian (sektor riil) mencegah penumpukan harta pada sekelompok orang (money concentration and creation)
  2. Absensi riba mencegah timbulnya gangguan dalam sektor riil, seperti inflasi dan penurunan produktivitas makro ekonomi.
  3. Absensi riba mendorong terciptanya aktivitas ekonomi yang adil, stabil, dan sustainable, melalui mekanisme bagi hasil (profit-loss sharing) yang produktif.
Berikut adalah sedikit tambahan yang mungkin berguna. Berbicara tentang riba akan membawa kita kembali dalam pembicaraan panjang tentang bunga. Ada sebuah pandangan menarik tentang bagi hasil dan bunga. Sistem bagi hasil dianggap tidak dapat diterapkan secara makro karena dalam penerapannya, lembaga pemberi kredit (misalnya, bank) harus menentukan nisbah bagi hasil yang tepat bagi tiap orang. Mustahil menerapkannya dalam konteks makro ‘kan. Ada pendapat seperti itu.

Mungkin anggapan itu benar untuk sekarang. Tetapi, semua sistem membutuhkan waktu lama untuk menjadi baik, begitupula sistem bunga. Jika semakin banyak lembaga keuangan yang menyalurkan kredit berbasis bagi hasil, informasi tentang nisbah bagi hasil yang paling tepat untuk setiap jenis dan sektor usaha akan terkumpul. Berapakah nisbah yang paling tepat untuk sektor UKM makanan, kerajinan, manufakturm dll? Apakah 70 : 30, 60 : 40, atau 50 : 50? Semua ini dapat terjawab dengan semakin seringnya kredit berbasis bagi hasil diluncurkan dan informasi terkumpul.

Jadi, saran penulis: jangan langsung menolak sebuah sistem hanya karena masih ada kekuarangan didalamnya. Terimalah, jalani, dan perbaiki.