Selasa, 29 November 2011

Fiqh Muamalah dalam Ekonomi

Ekonomi  Islam dapat dikatakan masih tergolong muda. Bidang ilmu ini baru muncul di Indonesia  pada tahun 1990an. Selama ini, masih banyak pandangan miring terhadap ekonomi Islam. Banyak ekonom yang berpendapat tidak ada ekonomi yang berdasarkan agama. Mereka percaya ekonomi dan kehidupan agama adalah dua hal yang sangat terpisah. Pemikiran ini semakin populer seiring dengan semakin modern-nya zaman.

Anggapan-anggapa sekuler di atas membuat nilai-nilai Islam semakin tergerus. Semangat sekulerisme juga semakin menjalar. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan agama di sekolah-sekolah dimana pendidikan akademis dipisahkan dengan pendidikan agama. Bidang yang disentuh hanya melulu syariat peribadahan, jarang dibahas tentang muamalah. Padahal, muamalah adalah bagaimana menerapkan aturan agama di kehidupan dunia saat ini.

Ekonomi selalu bicara tentang memanfaatkan sumber daya yang terbatas. Ini menjadi dasar masalah ekonomi: sumber daya terbatas sedangkan kebutuhan tidak terbatas. Islam tidak beranggapan seperti itu. Islam menganggap harta (atau sumber daya) adalah titipan yang harus kita kembangkan, dan justru merupakan ujian. Kita percaya bahawa Allah akan mencukupkan kebutuhan kita. Masalahnya adalah bagaimana mengelola harta tersebut. 


Harta menurut Islam.
  • Dalam harta kita ada bagian yang merupakan hak bagi orang-orang miskin.  
  • Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak mendapat. Semua pihak harus mendapat kesempatan dalam aliran harta (Inilah mekanisme fiskal: pemerataan kekayaan)
Sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme distribusi kekayaan. Pertama: mekanisme pasar.  Kedua; mekanisme non pasar. Pada mekanisme ini barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbale balik. Mekanisme ini bisa diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan.  Diharapkan mereka kemudian dapat mencukupi kebutuhannya dan memiliki modal untuk berkompetisi di mekanisme pasar. Contoh dari mekanisme ini adalah zakat.

Sayangnya, zakat adalah bagian dari ibadah yang paling tidak diatur oleh pemerintah. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam penyaluran zakat. Akibatnya, zakat cenderung didistribusi secara lokal dan sangat terbatas. Padahal, potensi zakat amat besar untuk dikembangkan.

Pasar Modal Menurut Perspektif Islam

Sebelum berbicara lebih dalam, ayo kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan pasar modal. Pasar modal adalah pasar dimana berbagai instrumen keuangan jangka panjang diperjualbelikan. Pasar modal berfungsi sebagai jembatan aliran dana yang mengalir dari pihak investor kepada pihak perusahaan yang membutuhkan dana. 

Pasar modal belakangan ini semakin dikenal dan memasyarakat. Hal ini disebabkan karena saat ini, kebanyakan investor lebih tertarik untuk berinvestasi di sektor finansial ini daripada di sektor riil. Ketertarikan ini disebabkan karena investasi di pasar modal memiliki kepastian yang lebih tinggi dan resiko yang lebih kecil daripada investasi di sektor riil. 

Jadi, bagaimana Islam memandang perdagangan saham ini?
Saham termasuk harta. Sedangkan, harta atau maal menurut syariah adalah semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena bersifat darurat. Jadi, muncul pertanyaan baru: apakah saham termasuk maal yang boleh diperdagangkan? Fatwa dari lembaga Al-Lajnah ad’imah menyatakan bahwa saham itu boleh diperdagangkan karena definisi saham sebenarnya adalah hak kepemilikan. 

Jadi, saham boleh diperdagangkan selama saham-saham itu tidak mewakili uang murni. Ini juga berdasarkan hukum dasar muamalat, yakni “asal dalam muamalat adalah halal”. Jadi, saham boleh diperdagangkan selama perusahaan tidak memperdagangkan saham pada sektor haram.

Nah, di sinilah perdagangan saham sekarang dipertanyakan dan menjadi masalah. Sebagian besar investor sekarang memiliki pola pikir jangka pendek. Mereka menganggap saham sebagai tabungan, atau bahkan uang yang dapat diambil sewaktu-waktu. Mereka beranggapan semakin likuid saham itu maka semakin baik. Perdagangan saham akhirnya lebih mengicar capital gain daripada dividen yang merupakan keuntungan yang didapat perusahaan yang menjadi hak kita sebagai salah satu pemilik saham. Akibatnya, sekarang saham diterapkan seperti uang atau tabungan. Inilah yang salah.

Jadi, jika ingin lebih detail, berikut adalah beberapa hal yang dilarang dalam perdagangan saham:
  1. Forward transaction
  2. Short selling (jangka pendek-hanya mengincar capital gain)
  3. Contango (mengandung unsur riba karena harga barang yang akan diperdagangkan di masa depan sudah ditentukan dari sekarang, plus keuntungan yang didapatkan)
Pasar Modal Syariah di Indonesia
Penetapan harga saham di pasar modal syariah berbeda dengan pasar konvensional. Pada pasar modal konvensional, harga saham ditentukan berdasarkan market value. Sedangkan harga saham di pasar modal syariah didasarkan pada nilai intrinsik yang diperoleh dengan cara
Harga Saham = (modal+profit-kerugian+akumulasi keuntungan + akumulasi kerugian)/Jumlah lembar saham

Kepastian ini membuat praktik perdagangan saham yang seperti “penggorengan nilai saham” adalah sesuatu yang tidak diterima dalam perdagangan saham menurut Islam.

Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil tentang pasar modal adalah 

  1. Pada dasarnya perdagangan saham adalah sesuatu yang diperbolehkan sepanjang tidak da seuatu yang membuatnya diharamkan.
  2. Berdirinya pasar modal syariah merupakan wadah bagi perusahaan yang dianggap sesuai syariah untuk berkumpul dan kemudian menjualnya ke investor. 
  3. Di Indonesia sendiri, pasar modal syariah masih merupakan rancangan panjang, yang lebih bersifat bottom up, dimana pembentukannya dimulai dari instrumen-instrumen awal, salah satunya benchmark saham-saham syariah (JII).

Rabu, 01 Juni 2011

Peluang dan Masa Depan Ekonomi Syariah

Hai orang – rang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah – langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu ” ( QS.Al-Baqarah : 208 )

Kondisi perekonomian dunia pada saat ini berada dalam ketidakseimbangan (Global Imbalancess). Faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, menurut European Central Bank (ECB) dan Jhon B.Taylor, salah satunya adalah Liquidity Glut. ECB dan Jhon B Taylor menganggap bahwa Liqidity Glut, dapat memicu timbulnya Inflasi. Penyebab utama timbulnya inflasi adalah adanya “ suku bunga” yang telah menjadi bagian dari biaya produksi, sehingga akhirnya menjadi bagian dari harga produk yang di jual. Hal ini tidak akan terjadi, jika asumsi persaingan sempurna (perfect competition) benar-benar terjadi di pasar.  Akan tetapi pada kenyataannya struktur pasar yang terjadi tidaklah bersifat persaingan sempurna, sehingga produsen mampu mempengaruhi harga produk yang dijualnya, yang secara otomatis struktur harga tersebut dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dan menyebabkan terjadinya inflasi itu sendiri. Dalam konsep islam, sektor produksi dalam perekonomian diorganisir berdasarkan basis bagi hasil (profit-sharing)

“ Sebuah sistem perekonomian dunia akan terus mengalami kondisi ketidakseimbangan, selama suku bunga masih tetap ada.”

Sistem perekonomian Islam bersifat universal, artinya dapat digunakan oleh siapa pun, tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apa pun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman, sehingga sesuai untuk diterapkan dalam kondisi apa pun asalkan tetap berpegang teguh kepada kerangka kerja atau acuan norma-norma yang islami. Anggapan tersebut telah terbukti saat adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia beberapa tahun lalu. Dunia perbankan dan lembaga keuangan islam yang kegiatan operasionalnya berdasarkan pada asas islam, krisis ekonomi dan moneter yang terjadi merupakan momen positif. Hal ini menunjukan dan memberikan bukti nyata kepada dunia, bahwa sistem ekonomi islam tetap dapat hidup dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang buruk sekalipun.

Berdasarkan pembuktian di atas, sudah saatnya bagi para penguasa suatu negara, untuk membuka mata dan mengubah cara pandang yang ada bahwa sistem ekonomi islam merupakan alternatif yang sesuai untuk mengatasi permasalahan perekonomian dunia saat ini.    

Oleh:
Galuh M. Iqbal SAS 

Bekerja di Bank Ribawi? Hmm ......

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa seluruh pakar ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 hingga sekarang telah sepakat bahwa bunga bank adalah haram. Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, serta sejumlah ulama lainnya, kesepakatan telah menjadi keputusan (ijma’) ‘ulama dunia. Jadi, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang haramnya bunga bank.

Tahun 1976, para pakar dan ’ulama dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, tahun 1973, seluruh ‘ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank. Konferensi internasional yang dihadiri tidak hanya puluhan, bahkan ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah beberapa kali diadakan di berbagai Negara. Kesemuanya memperoleh hasil akhir bahwa bunga bank adalah haram.

Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam seluruh dunia telah satu keputusan tentang haramnya bunga bank, diperkuat lagi oleh ‘ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tapi sungguh aneh bin ajaib, masih ada saja segelintir orang yang bodoh tentang ekonomi Islam berkomentar membantah haramnya bank. Itu jelas sangat aneh dan secara ilmu pun sangat memalukan. Allah berfirman yang artinya :

“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syariah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

Ayat di atas mengatakan, orang yang tidak mengikuti syariah ( termasuk di dalamnya perkara muamalah), mempunyai dua alasan. Pertama, mereka penyembah hawa nafsu karena perihal keduniaan. Kedua, karena ketidaktahuan mereka tentang syari’ah itu.

Dosa riba adalah dosa yang spesial, dikatakan spesial karena riba merupakan satu-satunya dosa yang dinyatakan perang oleh Allah dan Rasul-Nya (Q.S al Baqarah:279).

Lantas, setelah mengetahui bahwa bank telah menerapkan sistem ribawi, bolehkah kita bekerja di bank tersebut? Berikut ini penulis nukilkan Fatawa Islamiyah (2/401)

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh bekerja di lembaga riba sebagai supir atau satpam ?

Beliau menjawab:
tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga riba meskipun hanya sebagai supir atau satpam, karena masuknya dia sebagai pegawai di lembaga riba bermakna dia rela, karena yang mengingkari sesuatu tidak mungkin bekerja untuk kepentingannya, jika bekerja untuk kepentingannya maka berarti dia ridho dengannya, dan yang ridho dengan sesuatu yang diharamkan akan menanggung dosanya. Adapun orang yang secara langsung bertugas dalam penulisan, pengiriman, penyimpanan, dan semacamnya maka tidak ragu lagi dia berhubungan langsung dengan hal haram. Telah diriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya, dan penulisnya dan beliau berkata: mereka semua sama. Kitab Fatawa Islamiyah (2/401)

Maka bagi saudara kita yang masih bekerja di bank-bank tersebut hendaklah bertaubat serta meninggalkan pekerjaannya dan memohon kepada Allah dengan bertawakal kepada-Nya serta yakin bahwa rizki adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’alaa: (Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia Yang mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusannya. Allah telah menentukan takdir bagi segala urusan) (QS Ath-thalaq:2-3).

Bukanlah sifat seorang muslim, tatkala berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya dirinya malah berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya.

Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah terkandung suatu hikmah, sebab Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat.

Oleh: Khoirul Mubin

Minggu, 29 Mei 2011

Dekonstruksi Ekonomi Kapitalis dan Rekonstruksi Ekonomi Syariah

Secara umum sistem ekonomi meliputi tiga hal yaitu produksi, distribusi, konsumsi.Namun yang menjadikan perbedaan mendasar antara system ekonomi islam dengan yang lain adalah adanya tahap pra produksi. Islam telah memikirkan distribusi (kepemilikan) sumber daya sebelum proses produksi.
Islam memilah kepemilikan menjadi 3 golongan yakni kepemilkan pribadi, public dan negara,yang dalam ekonomi kapitalis hal tersebut diabaikan.


Kepemikan pribadi misalnya, imbalan yang diperoleh dari bekerja, warisan, hadiah. Lain daripada itu  islam mengakui kepemilikan kolektif sedangkan kapitalis tidak. Hal ini disampaikan juga dalam H.R. Ibnu Abbas bahwa manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, api dan padang rerumputan. Jadi, Islam melarang adanya monopoli, okupasi, privatisasi dan hak eklusif yang nantinya akan menimbulkan spekulasi. Sehingga, apabila terdapat penguasaan elite terhadap common asset menunjukan belum bekerjanya sistem ekonomi Islam, karena riba juga meliputi suatu yang diperoleh dengan mengorbankan hak orang lain.


Dalam sebuah konstruksi  bangunan diperlukan pondasi yang kuat, demikian juga dalam membangun system ekonomi Islam. Ekonomi islam meliputi tiga tahap yaitu falsafah/ nilai-nilai dasar, system, dan instrument. Ketiga tahap tersebut merupakan satu kesatuan dan harus runtut. Yang harus diingat adalah bahwa instrument tidak bisa membangun sistem. Banyaknya kuantitas perbankan syariah yang merupakan salah satu instrumen ekonomi Islam tidak bisa menjadi indikasi diterimanya sistem ekonomi Islam.


Teori pertama dalam ekonomi Islam adalah teori pra produksi. Distribusi pra produksi penting, karena apabila sumber daya produksi dikuasai oleh beberapa orang akan menghambat  produksi dan bisa mengakibatkan krisis. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Salah satu indicator bekerjanya ekonomi Islam adalah ketika barang milik umum tidak dimiliki eksklusif.


Teori kedua adalah teori produksi, yaitu bahwa semua orang harus terlibat dalam kegiatan produksi, kecuali yang tidak mampu. Kewajiban Negara bukan hanya sebatas menyediakan lapangan kerja, tetapi lapangan kerja yang layak, namun bukan memberikan nafkah secara cuma-cuma. Ini diamanatkan UUD 1945 dalam pasal 27 ayat (2) yakni bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.


Teori yang ketiga yaitu tentang distribusi, Ekonomi Islam memperhatikan masyarakat yang berdaya beli kurang. Pada zaman Rasulullah masyarakat yang tidak mendapat bangian dalam tahap pra produksi, produksi dan distribusi pun mendapat bagian. Hal serupa termaktub dalam UUD 1945 pasal 34 ayat (1) bahwa fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara.Membahas sebuah perekonomian bukan hanya bagaimana mengelola bisnis, tetapi juga meliputi bagaimana mengelola Negara, mengelola sumber daya alam atau pemberdayaan sektor riil dan mengelola tenaga kerja. Ekonomi Islam mengupayakan keadilan dalam berekonomi dengan zero unemployment melalui pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan zero poverty.

Minggu, 10 April 2011

Pandangan Islam terhadap Kegiatan Jual-beli Mata Uang

Di sini kita akan menilai pandangan Islam terhadap uang dengan melihat dari segi realitas. Maksudnya, kita akan menilai apa pengaruh kegiatan jual-beli mata uang terhadap kegiatan perekonomian pada kenyataannya, sehingga kita akan memahami alasan dibalik pandangan Islam terhadap kegiatan ini. Tetapi, sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami apa itu uang.

Uang ialah sesuatu yang diterima umum sebagai alat pembayaran yang syah. Coba kita telusuri definisi ini kata demi kata untuk mendapat pemahaman yang lebih mendetail. Sesuatu,  berarti uang dapat berbentuk apa saja. Diterima umum, berarti digunakan oleh masyarakat luas. Alat pembayaran, berarti digunakan sebagai tool of payment atau medium of exchange. Syah, berarti legal atau diakui oleh pemerintah. 

Sejarah Singkat Perkembangan Uang

Dahulu, saat uang belum ditemukan, jual-beli dilakukan dengan cara barter, yaitu barang dipertukarkan dengan barang. Seseorang membutuhkan barang A dan memiliki barang B. Ia harus memiliki orang yang membutuhkan barang B dan ingin menukarnya dengan barang A. Akibatnya, akan menimbulkan rasio tukar sebanyak barang yang ada. Jika misalnya ada 3 barang yang diinginkan, contohnya brang A, B, dan C. Maka, masyarakat harus menentukan rasio tkar untuk tiap barang tersebut. Contohnya, satu barang A = 2 barang B dan satu barang B = dua barang C, dan seterusnya. Padahal, kebutuhan manusia amat banyak. Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika setiap barang harus dibut rasio tukarnya.

Masalah lain dalam sistem barter adalah perlu terjadinya “keserasian ganda keinginan” (double coincidence of wants) untuk mencapai transaksi. Contohnya, seperti di atas. Seseorang membutuhkan barang B dan memiliki barang A. Ia menemukan orang yang memiliki barang B, tetapi tidak membutuhkan barang A, melainkan barang C. Akibatnya transaksi tdak dapat terjadi. Orang itu harus menemukan orang yang memiliki barang B dan membutuhkan barang A agar transaksi dapat terjadi. Inilah “keserasian ganda keinginan”. Jika syarat keserasian ganda ini tidak terpenuhi, tidak akan terjadi barter. Ditambah lagi, ketika sudah menemukan orang yang cocok mereka masih harus menyepakati rasio tukarnya. Berbagai masalah dalam sistem barter inilah yang membuat perekonomian masa itu tidak berkembang. 

Lalu, tiba masa uang barang. Barang tertentu dipilih, disepakati, dan ditetapkan sebagai perantara perdagangan. Rasio tukar barang lain dengan barang ini ditetukan. Barangnya bermacam-macam, seperti kulit kambing, tembaga, cangkang kerang, emas, perak, dan barang lain. Penggunaan uang barang memang mempermudah berbagai kegiatan ekonomi karena adanya rasio tukar yang jelas antara tiap barang dengan uang barang yang disepakati. Tetapi, usia penggunaan setiap uang barang ini juga cenderung singkat, karena masyarakat kemudian menyadari kekurangan dari berbagai uang barang tersebut. Contohnya, Uang berbahan kulit tanaman dan kulit binatang menghadapi masalah keawetan (durability).

Dari semua uang barang, uang emas dan perak merupakan uang barang yang paling diterima dan paling bertahan lama. Tetapi, kemudian uang logam mulia ini menghadapi masalah nilai, yaitu perbedaan antara nilai nominal (sebagai uang) dan nilai instrinsik (nilai sebagai barang). Contohnya, nilai emas di pasaran 300 ribu/gram. Tetapi, nilai uang yang terbuat dari satu gram emas saat ini hanya 200 ribu/gram. Akibatnya, pemilik uang lebih memilih melebur uang emas menjadi barang. Akibatnya uang hilang di peredaran. Selain itu, masih ada juga masalah kepraktisan. Koin-koin yang terbuat dari emas dan perak cenderung berat dan sulit dibawa.

Jika kita rangkum semua pembahasa di atas, semua jenis uang menghadapi masalah kemudahan untuk dikenali (cognizability), kemudahan untuk direcehkan (divisibility), keluwesan untuk digandakan (elasticity of supply), dan kemudahan untuk dibawa-bawa (portability). Jadi, kita sekarang memahami mengapa uang kertas digunakan sekarang. Karena uang kertas memenuhi semua kebutuhan di atas.

Uang kertas tidak memiliki kelemahan seperti uang logam mulia. Uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik. Kita menerima dan mengakuinya sebagai uang semata-mata berdasarkan kepercayaan (fiat standard). Jadi, jika misalnya BI tahun ini mencetak rupiah senilai Rp 1 trilyun, tidak berarti tahun ini Indonesia memiliki cadangan emas dengan nilai sebanyak itu.


Pandangan Islam terhadap Uang 

Sebelum kita berbicara tentang pandangan ekonomi Islam terhadap uang dan segala transaksi yang berhubungan dengannya, kita pahami dulu teori tentang uang menurut ekonomi konvensional. Pertama, fungsi uang menurut teori konvensional. Ada tiga fungsi, yakni sebagai 1) medium of exchange (alat pertukaran) 2) unit of account (satuan nilai), dan 3) store of value (sarana penyimpanan kekayaan).

Kedua, alasan orang memegang uang seperti yang disampaikan J.M. Keynes. Alasan orang memegang uang menurut teori konvensional adalah karena 1)motif transaksi, 2) motif berjaga-jaga, dan 3)motif spekulasi.

Ketiga, masalah portofolio kekayaan. Portofolio kekayaan adalah komposisi jenis dan jumlah kekayaan. Contohnya, ketika seseorang memiliki banyak uang, ia dapat menyimpan uang itu dalam berbagai bentuk, seperti uang tunai, tabungan, atau penyimpanan lainnya. Ada delapan bentuk untuk menyimpan kekayaan yang dimiliki, yakni dalam bentuk uang tunai, simpanan atau tabungan, harta tak bergerak, harta bergerak, logam mulia, sekuritas, dan valuta asing. 

Nah, berikut adalah pandangan ekonomi Islam terhadap ketiga masalah di atas. Pertama, mengenai fungsi uang dan motif orang menyimpan uang. Islam tidak mengakui fungsi uang sebagai sarana penyimpanan kekayaan (store of value) dan motif orang menyimpan uang untuk motif spekulasi. Selain itu, menurut Islam alasan orang menyimpan uang adalah untuk transaksi dan investasi. Motif berjaga-jaga dianggap sudah termasuk dalam kedua motif tersebut.

Masalah muncul di portofolio kekayaan. Pada poin kedelapan kita bertemu dengan cara menyimpan kekayaan dalam bentuk valuta asing. Islam tidak mengakui bentuk penyimpanan uang dalam bentuk valuta asing. Valuta asing seharusnya hanya digunakan sebatas untuk kebutuhan transaksi luar negeri. Tetapi, jika valuta asing sudah digunakan sebagai penyimpanan kekayaan, maka fungsinya sudah berubah sebagai alat untuk mendapat keuntungan melalui spekulasi terhadap perubahan nilai tukar mata uang.

Niat untuk spekulasi inilah yang dilarang oleh Islam. Jika niat dalam membeli valuta asing adalah sebagai media transaksi internasional, maka diperbolehkan. Tetapi, jika niatnya adalah untuk memperoleh keuntungan melalui spekulasi, maka Islam melarang keras.

Masalah Spekulasi, Riba, dan Akhirnya Kembali ke Bunga

Sekarang, mari kita memperlebar sedikit ruang lingkup kita. Masalah spekulasi selalu menjadi masalah di sektor finansial kita, baik di pasar uang maupun pasar modal. Investasi terbagi menjadi dua, yakni investasi langsung dan investasi tidak langsung melalui jual-beli surat berharaga. Cara kedua inilah yang rawan spekulasi.

Masalah spekulasi menyebabkan jurang yang amat besar dalam investasi di sektor riil dan investasi portofolio di sektor keuangan. Volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1.5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 triliun setiap tahun (Rasio 500:6).

Spekulasi akan berakibat riba, masalah besar bagi ekonomi Islam. Padahal, jika tak ada riba, kondisi berikutlah yang mungkin terjadi
  1. Absensi riba dalam perekonomian (sektor riil) mencegah penumpukan harta pada sekelompok orang (money concentration and creation)
  2. Absensi riba mencegah timbulnya gangguan dalam sektor riil, seperti inflasi dan penurunan produktivitas makro ekonomi.
  3. Absensi riba mendorong terciptanya aktivitas ekonomi yang adil, stabil, dan sustainable, melalui mekanisme bagi hasil (profit-loss sharing) yang produktif.
Berikut adalah sedikit tambahan yang mungkin berguna. Berbicara tentang riba akan membawa kita kembali dalam pembicaraan panjang tentang bunga. Ada sebuah pandangan menarik tentang bagi hasil dan bunga. Sistem bagi hasil dianggap tidak dapat diterapkan secara makro karena dalam penerapannya, lembaga pemberi kredit (misalnya, bank) harus menentukan nisbah bagi hasil yang tepat bagi tiap orang. Mustahil menerapkannya dalam konteks makro ‘kan. Ada pendapat seperti itu.

Mungkin anggapan itu benar untuk sekarang. Tetapi, semua sistem membutuhkan waktu lama untuk menjadi baik, begitupula sistem bunga. Jika semakin banyak lembaga keuangan yang menyalurkan kredit berbasis bagi hasil, informasi tentang nisbah bagi hasil yang paling tepat untuk setiap jenis dan sektor usaha akan terkumpul. Berapakah nisbah yang paling tepat untuk sektor UKM makanan, kerajinan, manufakturm dll? Apakah 70 : 30, 60 : 40, atau 50 : 50? Semua ini dapat terjawab dengan semakin seringnya kredit berbasis bagi hasil diluncurkan dan informasi terkumpul.

Jadi, saran penulis: jangan langsung menolak sebuah sistem hanya karena masih ada kekuarangan didalamnya. Terimalah, jalani, dan perbaiki.

Jumat, 18 Maret 2011

Masalah Mafia Pajak. Sebuah Pandangan dari Segi Politik, Hukum, dan Ekonomi

Tulisan ini adalah resume dari acara Kajian Intelektual Bersatu FEB UGM.

Mafia Pajak. Dua kata ini mungkin adalah kata yang sering didengar oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Secara umum, masyarakat memandang hal ini sebagai sebuah masalah hukum yang serius. Berbagai kejahatan tingkat tinggi sistemik yang pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Pandangan ini memang benar. Tetapi, masalah mafia pajak sebenarnya adalah sebuah masalah yang tidak dapat hanya dikaji dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi politik dan sisi ekonomi. Pemahaman menyeluruh ini amat penting.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Politik
Oleh M. Adi Ikhsanto (dosen FISIP UGM)

Sekarang ini, ada kecenderungan gagalnya sistem birokrasi di Indonesia yang disebabkan oleh berbagai masalah politik, terutama kegagalan terciptanya konsolidasi elite politik di Indonesia. Sebenarnya, konsolidasi politik dapat dikatakan elit jika memiliki resource yang berkualitas, seperti para pemimpin dan anggota partai yang berkualitas. Tetapi, seperti yang kita lihat belakangan ini, banyak ‘elit’ politik yang dapat mencapai posisinya bukan karena kualitas mereka, tetapi karena hal-hal lain. Akibatnya, konsolidasi elit politik gagal dan menyebabkan munculnya politik yang profit-oriented.

Politik yang profit-oriented akan menyebabkan kegagalan birokrasi, terutama di negara yang bersistem politik seperti di Indonesia. Birokrasi di Indonesia amat terpengaruh oleh politik. Parlemen (dan berarti partai politik) dapat ikut campur di berbagai urusan birokrasi. Padahal seharusnya birokrasi yang ideal bebas dari kepentingan politik. Akibat usaha mengambil keuntungan di dalam birokrasi (yang disebakan kuatnya kepentingan politik), kita mengenal berbagai masalah, termasuk yang sedang kita bicarakan sekarang ini, yakni mafia pajak.

Mengingat pentingnya kesehatan birokasi, sekarang ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi. Reformasi yang perlu kita perhatikan adalah reformasi di Departemen Keuangan yang sudah dimulai sejak masa Menteri Keuangan Sri Mulyani. Public Accountability adalah focus dari reformasi di Departemen Keuangangan. Reformasi di departemen ini amat penting mengingat posisi Departemen Keuangan yang amat strategis karena 1) mempunyai lebih dari 60.000 PNS di seluruh Indonesia dan 2) mempunyai income-generating organizations yang amat penting, seperti Dirjen Pajak.

Reformasi di Departemen Keuangan diarahkan kepada:
  • Desain etik dan kognisi yang pantas dan appropriate.
  • Penataan birokrasi yang berkorelasi dan bertanggungjawab, dapat menimbulkan kompetisi individu-individu  yang ada di dalamnya.
  • Penataan renumerasi birokrasi. Departemen keuangan menyadari betul bahwa mereka adalah income-generating. Sehingga remunerasi berusaha dilakukan untuk memuaskan para karyawan untuk tidak melakukan berbagai tindakan illegal untuk menambah keuntungan
  • Penegakan kontrol dan pengawasan birokrasi.Desain pertanggungjawaban birokrasi. Dilihat dari system operasi manajemen memang tidak ada mafia pajak, namun terdapat power relation dalam institusi negara. Lingkungan politik tidak cukup kondusif untuk menjalankan sistem birokrasi.

Jika dilihat sekilas, birokrasi di Departemen Keuangan sudah amat terstruktur sehingga seharusnya tidak muncul mafia pajak. Masalahnya, Departemen Keuangan adalah sebuah institusi negara. Akibatnya, birokrasi di departemen ini pada akhirnya juga akan terpengaruh oleh kepentingan politik.

Hal ini disebabkan karena lingkungan politik kita tidak sehat untuk kepentingan birokrasi. Seharusnya, lingkungan birokrasi bebas dari kepentingan politik. Tetapi, seperti yang kita lihat dalam politik kita, ketika sebuah partai menang dalam pemilu, deal politik dan berbagai kepentingan mereka pada akhirnya mengatur-ngatur masalah birokrasi yang seharusnya bekerja secara independen. Para politisi akan berusaha untuk mengintervensi kegiatan birokrasi untuk mendukung kepentingan mereka.

Kuatnya peran politik di dalam birokrasi juga menyebabkan terjadinya diskresi. Diskresi berarti menerjemahkan aturan sesuai dengan kepentingannya. Semakin kuatnya kepentingan politik di dalam birokrasi, semakin banyak terjadi transaksi politik, yang akhirnya menyebabkan diskresi tak terkendali yang dilakukan oleh para pelaku transaksi itu, seperti
  1. Birokrasi sebagai sumber keuntungan tertentu, yang acap kali dijadikan sebagai mesin politik dalam sejumlah kampanye politik,, yaitu adanya street level, middle, dan top level.
  2. Sumber patronase, artinya untuk keuntungan politik dalam menginisiasi kepentingan.
  3. Sebagai sumber loyalitas politik

Kuatnya pengaruh politik menyebabkan terjadinya dilema birokrasi, seperti dilema kompetensi dan otoritas. Maksudnya, birokrasi pastinya memiliki akses yang baik di berbagai bidang, seperti memiliki pekerja yang kompeten dan sumber dana. Kuatnya kepentingan politik di dalam birokrasi menyebabkan berbagai akses dan sumber daya yang dimiliki birokrasi tidak lagi digunakan untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan otonom kelompok tertentu yang sering berbeda dengan kepentingan publik.

Dilema bagi birokrasi Indonesia juga muncul dalam interaksi politik. Aturan di Indonesia-lah yang menyebabkan dilema tersebut. Contohnya, 1) birokrasi diharapkan bebas dari intervensi politik tetapi juga harus diawasi oleh politik, seperti munculnya fit and proper test yang dilakukan oleh DPR, dan  2) kegiatan birokrasi merupakan tanggung jawab kementerian tetapi mereka juga harus mempertanggungjawabkan diri sendiri.

Contoh terbaik dari hal ini mungkin adalah ancaman masalah reshuffle cabinet. Dengan sistem presidensiil yang kita anut, seharusnya tugas para menteri lepas dari kepentingan partai. Seharusnya mereka murni dipilih sesuai kemampuan dan bekerja sesuai tugas dan bidangnya. Tetapi, pada kenyataannya, seperti yang kita lihat, dalam pemilihannya, para menteri amat terikat dengan partai, dan ketika terjadi gonjang-ganjing politik di parlemen, mereka juga terkena getahnya.

Nah, jika sekarang kita kembali ke masalah mafia pajak, mungkin kita sudah memahami masalah ini lebih jauh sekarang. Mafia pajak adalah sebuah kejahatan terstruktur, yang disebabkan oleh politik profit-oriented yang dilakukan oleh berbagai pejabat birokrasi. Berbagai posisi dalam birokrasi (contohnya, Dirjen Pajak) amat mungkin terisi melalui berbagai deal-deal politik. Akibat kuatnya berbagai pengaruh dan kepentingan, ditambah dengan keinginan untuk mendapat keuntungan, bermunculan-lah berbagai mafia pajak.

Lalu, bagaimana menghilangkan masalah mafia pajak ini? Hal penting yang perlu dilakukan adalah melenyapkan politik profit oriented ini. Politik ini tercipta karena politik high-cost di Indonesia. Partai ataupun calon harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk memenangi pemilihan. Akibatnya, hal pertama yang terpikir oleh mereka ketika menang adalah mengembalikan biaya tersebut. Menghilangkan politik high-cost di Indonesia dapat secara drastis menurunkan keinginan mencari untung di politik (dan brokrasi), termasuk di Dirjen Pajak.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Hukum
Oleh Prof. Dr. M. Arief (dosen FH UGM)

Hal utama yang harus diperhatikan dan diketahui dalam memandang masalah mafia pajak dari segi hukum adalah perbedaan antara hukum pidana umum dengan hukum pajak (termasuk hukum pidana pajak). Hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum pajak bersifat persuasif. Berarti, hukum pajak berbeda dengan hukum pidana umum dimana pelanggarnya akan langsung dihukum. Pada hukum pajak, jika seorang warga negara melakukan pelanggaran (seperti tidak membayar pajak) maka si pelanggar harus dibujuk untuk mebayar pajak dahulu.

Jika semua cara persuasif gagal, baru hukum pidana pajak digunakan. Hukum pidana pajak adalah hukum tertua paling khusus yang digunakan bila semua pendekatan lain tak dapat digunakan. Tetapi, hukum ini tetap menganut sifat persuasif. Artinya, bila di tengah proses hukum si pelanggar bersedia membayar pajak maka proses hukum harus dihentikan. Perbedaan metode persuasi dan represif inilah yang perlu dimengerti dalam pembahasan kasus mafia pajak.

Perbedaan antara hukum pidana pajak dengan hukum pidana umum ini-lah yang menimbulkan masalah, seperti perbedaan cara berpikir dan sudut pandang dalam penegakannya. Contohnya, aturan pajak negara kita mengenal self assessment (penghitungan pajak sendiri). Ketika terjadi perbedaan besarnya pajak dari self assessment dengan tagihan, wajib pajak berhak melakukan keberatan. Tetapi, ia harus membayar dahulu sesuai SPT (tagihan pajak). Jika keberatan itu dikabulkan, negara harus mengembalikan kelebihannya sebagai restitusi ditambah bunga 5 %. Pengembalian kembali ini memang merugikan negara. Akibatnya, orang-orang dituntut tindak pidana korupsi karena merugikan keuangan negara, padahal seperti itulah aturan perpajakan! Inilah mengapa pelanggaran di sektor pajak hanya dapat disadari oleh orang-orang pajak dan tidak dapat ditentukan dengan hukum pidana umum.

Selain itu, jika kita bicara tentang korupsi kita tidak hanya berbicara tentang korupsi dalam penerapan aturan. Sebenarnya, korupsi sudah dimulai sejak masa pembuatan aturan. Dalam pembuatan aturan, korupsi sudah terjadi saat terjadinya berbagai deal-deal politik yang menguntungkan suatu kelompok tertentu. Jadi, bagaimana mungkin aturan hukum dapat digunakan untuk memberantas korupsi jika dalam proses pembuatannya sudah mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

Bagaimana cara mengatasi masalah mafia pajak? Pembenahan aturan perpajakan. 1) pembinaan karakter dari para pengurus pajak sendiri 2) masalah transparansi dan akuntabilitas di sektor perpajakan 3) pengadaan sistem penyidikan dengan aturan dan mindset sesuai aturan perpajakan yang berbeda dengan aturan tindak pidana korupsi, karena seperti yang telah dijabarkan tadi, sifat kedua hukum tersebut berbeda. Jadi, dalam penyidikan dan pengadilan tindak pidana pajak, harus digunakan aturan terpisah dan tidak dikait-kaitkan dengan aturan pada tindak pidana korupsi.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Ekonomi
Oleh Rimawan Pradiptyo (dosen FEB UGM)

Korupsi di Indonesia memang telah memasuki level ‘expert’. Kita hampir selalu menemukan tindak korupsi di setiap kegiatan yang menggunakan dana, baik dalam jumlah besar ataupun kecil.

Ada istilah yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan. Korupsi merajalela di negara kita karena banyaknya kesempatan yang tersedia. Pertama adalah masalah dokumentasi yang berantakan. Seberapa baiknya dokumentasi menentukan seberapa baiknya kualitas data yang dimiliki. Jika dokumentasi tidak jelas akan menyebabkan bias data. Padahal data-data kependudukan ini-lah yang digunakan sebagai dasar berbagai kebijakan, seperti BLT, pembagian raskin, sampai yang akan dilakukan yakni pembatasan BBM bersubsidi. Pada data yang bias inilah para koruptor bermain, termasuk para mafia pajak.

Kedua, masalah insentif di negara kita yang berantakan. Sistem insentif di negara kita sebenarnya merupakan peninggalan masa kolonial, dimana para penjajah beranggapan bahwa untuk mendorong semangat kerja diperlukan pemberian insentif untuk setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem insentif sekarang juga masih sama. Dalam berbagai slip gaji kita dapat melihat dua poin utama; gaji pokok dan penghasilan bersih. Gaji pokok seorang PNS golongan IIIA mungkin relative sama, tetapi dapat sangat berbeda dengan adanya berbagai tunjangan. Plus, berbagai insentif lain seperti uang rapat, uang lembur, uang perjalanan, dll. Hal ini mengakibatkan perbedaan besar antara gaji dan take-home pay (penghasilan yang dinikmati).

Gaji pokok yang kecil menuntut pegawai untuk mencari tambahan penghasilan dari berbagai tunjangan. Gaji kecil menyebabkan orang-orang melakukan assessment yang sesuai dengan apa yang mereka anggap haknya. Di sini lah korupsi dapat (dan paling mungkin) terjadi.

Jika kita ingin mengetahui apakah sistem insentif di negara kita berjalan baik atau tidak, kita harus menilik lembaga-lembaga pemerintah. Di antara semua lembaga pemerintah, hanya Bank Indonesia yang terbuka tentang penghasilan orang-orangnya. Ini karena gaji yang mereka dapatkan memang setara dengan take-home pay nya.

Cara untuk mengatasi ini adalah perombakan pada sistem insentif kita. Seorang pegawai seharusnya mendapat gaji saja, tanpa embel-embel tunjangan lain. Tentu, besarnya gaji itu harus sepadan (tidak terlalu rendah seperti yang kita alami sekarang). Gaji itu sudah termasuk berbagai insentif dari tugas-tugas dan kegiatan yang ia lakukan sebagai tugasnya. Dengan begitu, gaji = take-home pay. Ini akan semakin memperkecil peluang korupsi.

Jadi, dapat dikatakan bahwa masalah mafia pajak sebenarnya merupakan ‘puncak gunung es’ dari rapuh dan berantakannya sistem kita yang sialnya sudah kita terapkan sejak zaman penjajahan dan tak ada niat dari kita untuk mengubahnya. Contohnya saja, jika sistem pengadministrasian berjalan rapi dan tak dapat dimanipulasi, para mafia pajak tentunya tak dapat berbuat apa-apa untuk memanipulasi. Begitu pula dengan sistem insentif. Seandainya tidak ada berbagai tunjangan, dengan kata lain besarnya penghasilan sudah dipatok, maka tak akan muncul berbagai tindak pidana korupsi. Kegiatan illegal itu akan langsung tercium karena si pelaku mendapat penghasilan yang jauh lebih besar daripada seharusnya, padahal bayaran sudah dipatok sehingga setiap orang tidak mungkin mendapat penghasilan lebih dari itu.

Masalah lain adalah pada aturan yang menyarankan koruptor untuk korupsi sebesar-besarnya. Penjabaran ini mungkin memang agak ekstrem. Tetapi, jika ingin mengetahuinya kita tilik kembali undang-undang yang mengatur hukuman bagi para koruptor. Jika kita perhatikan, tampak dengan begitu harfiahnya bahwa semakin besar jumlah uang yang dikorupsi, semakin besar pula keuntungannya. Hal ini dihitung dari denda yang harus dibayar. Jadi, dapat dikatakan bahwa aturan negara kita ‘menyarankan’ untuk melakukan korupsi secara ‘profesional’ dan jangan setengah-setengah.