Oleh Nurul Wakhidah (Ilmu Ekonomi 2011)
Sekretaris Jendral SEF UGM
Di era modern ini, tidak dapat dielakkan lagi bahwa kran
globalisasi sudah terbuka dengan lebar sehingga menyebabkan arus informasi,
barang dan jasa, serta modal menjadi begitu mudah menyeberangi batas negara,
menciptakan integrasi ekonomi dan sosial. Bahkan, konsep borderless world pun sudah menjadi hal yang tak asing lagi.
Tentunya, berbagai dampak –baik itu positif maupun negatif- timbul dari
merebaknya globalisasi ini.
Globalisasi memang membuka
kesempatan bagi setiap perekonomian untuk tumbuh dan berkembang, menawarkan
pangsa pasar yang lebih luas. Namun di sisi lain, globalisasi juga menyebabkan
fenomena ekonomi yang terjadi di suatu negara dengan mudahnya menjalar ke negara
lain, misalnya saja krisis finansial yang melanda Amerika Serikat tahun 2008.
Ketika krisis itu melanda, guncangan hebat yang melanda sektor finansial AS
dengan agresifnya menginfeksi sektor finansial lain di seluruh dunia, bahkan
beberapa lembaga keuangan sampai collapse.
Namun, yang menarik adalah, lembaga keuangan seperti perbankan islam tetap bisa
bertahan dengan menunjukkan pertumbuhan yang positif. Hasil study IMF yang dilakukan oleh Maher Hasan dan Jemma Dridi menunjukkan bahwa
lembaga keuangan islam lebih tahan krisis, sehingga mereka cenderung mengalami
kenaikan di tengah trend global yang
sedang mengalami penurunan.
Apa
yang menyebabkan lembaga keuangan islam mampu bertahan melawan krisis? Apakah
fenomena ini hanyalah kebetulan belaka? Hal ini perlu kita telisik lebih dalam
lagi. Fondasi utama yang memperkuat lembaga keuangan islam adalah sistem
pembiayaannya yang equity-based,
tidak seperti lembaga keuangan konvensional yang loan-based. Pembiayaan
yang dilandaskan pada modal dan bukannya utang ini membuat perbankan islam
lebih terhindar dari unsur ketidakpastian spekulasi, tidak seperti perbankan
konvesional pada umumnya.
Lembaga
keuangan islam berlandasakan asas-asas risk
sharing, kepercayaan, dan transparansi. Mereka juga mendasarkan investasi
pada sektor riil, sehingga tidak menyebabkan bubble. Artinya, setiap investasi di sektor financial harus
disertai dengan underlying assets
atau wujud investasi konkret di sector riil. Hal ini tentu saja berbeda dengan
investasi konvensional yang bisa melakukan investasi tanpa adanya underlying assets, menciptakan uang out of thin air.
Perbedaan-perbedaan
mendasar inilah yang membuat lembaga keuangan islam tidak terpuruk karena
krisis yang melanda sector financial global tahun 2008. Krisis ini menjadi
katalis utama dalam menunjukkan kepada kita bahwa keuangan islam telah
membuktikan dirinya sebagai pejuang yang tangguh dan mampu bertahan melawan
arus utama dampak globalisasi. Bahkan saat ini, keuangan islam menjadi salah satu segmen yang paling cepat berkembang di jasa keuangan global.
Memang, globalisasi
identik dengan persaingan. Akan ada winners,
akan ada loosers. Akankah keuangan islam (Islamic
Finance) mampu bersaing di tengah euphoria
globalisasi dan menjadi pemenang? Kita tidak mengetahui dengan pasti. Namun,
sejarah telah menunjukkan salah satu bukti bahwa lembaga keuangan islam bisa
menjadi pemenang. Meskipun demikian, melihat interval krisis yang akhir-akhir
ini semakin pendek dan tantangan globalisasi yang semakin kompleks, bekal yang
dimiliki oleh lembaga keuangan islam masih belum cukup. Diperlukan sinergi
antarpihak untuk terus meningkatkan performance
lembaga keuangan ini; mulai dari regulator dalam hal memberikan payung hukum yang
pasti, praktisi yang dengan keahliannya menciptakan berbagai inovasi, dan
masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam mengembangkan industri keuangan
islam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar