Yanis Prihantika M. (Akuntansi
2011)
Indonesia merupakan negara
yang dikenal dengan gaya konsumtif yang cukup tinggi. Jumlah penduduk Indonesia
yang berada di urutan ke-4 sebagai negara dengan penduduk terbanyak sedunia dan
gaya hidup masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif menjadi daya tarik
bagi investor dari berbagai negara. Gaya hidup konsumtif adalah kecenderungan
seseorang untuk melakukan konsumsi yang berlebihan, mudah tertarik dengan
barang atau jasa yang bukan menjadi prioritas utama untuk mendapatkan status
sosial tertentu. Potensi pasar di Indonesia dapat menjadi salah satu sisi
positif munculnya gaya hidup konsumtif. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan
dari gaya hidup konsumtif adalah gaya hidup hedonis, foya – foya dan boros.
Munculnya fasilitas kartu kredit mendorong masyarakat untuk lebih mudah
bertransaksi untuk memenuhi kebutuhan individu. Apabila tidak digunakan dengan
tepat, seorang individu dapat terjerumus dalam lilitan hutang karena gaya hidup
konsumtif. Pada tahun 2009, Indonesia berada pada urutan ke-2 dunia sebagai
negara dengan tingkat konsumsi tinggi. Dalam ekonomi konvensional, semakin
tinggi konsumsi mengindikasikan bahwa pendapatan juga tinggi {Y=C+S}. Namun
perlu ditelisik lebih jauh siapa pihak yang memiliki tingkat konsumsi tinggi.
Kurangnya pemerataan menyebabkan tingkat konsumsi di Indonesia hanya semu
belaka. Hal ini disebabkan tidak semua masyarakat menikmati dan mampu
meningkatkan tingkat konsumsi (sebagai indikasi meningkatnya pendapatan).
Distribusi yang tidak merata menyebabkan kesenjangan semakin lebar antara Si
Kaya dan Si Miskin. Si Kaya semakin menikmati gaya hidup yang boros tanpa
melirik keadaan Si Miskin.
Dalam teori konsumsi
Islam, seorang Muslim dilarang untuk hidup boros yang berlebih- lebihan yang
tercantum dalam Al Qur’an surat Al-Israa' ayat 26-27 :
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan". Jelas bahwa seorang muslim dilarang hidup berlebih – lebihan walaupun sumber daya ekonomi yang dimiliki besar.
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan". Jelas bahwa seorang muslim dilarang hidup berlebih – lebihan walaupun sumber daya ekonomi yang dimiliki besar.
Dalam ekonomi Islam,
muslim diharuskan untuk menyisihkan penghasilannya untuk infak {Y= (C+Infak) +
S}. Islam mengatur umatnya untuk menyisihkan infak terlebih dahulu setelah
kebutuhan primer (C) terpenuhi, kemudian sisa dari konsumsi dan infak dapat
digunakan untuk tabungan (S). Muslim yang berada dalam kekurangan dapat
terbantu dengan adanya infak. Islam mengatur setiap individu untuk tidak
berlebih- lebihan dan tetap memperhatikan kebutuhan orang lain dengan
menyalurkan infak. Berbeda dengan teori konvensional yang tidak mengatur
konsumsi individu. Seorang individu akan merasa puas apabila seluruh kebutuhannya
dapat terpenuhi. Hal ini menumbuhkan benih – benih kapitalisme. Si Kaya semakin
kaya tanpa memperhatikan keadaan Si Miskin.
Dalam konsumsi Islam,
seorang Muslim akan mendapat kepuasan lebih apabila mengonsumsi barang halal
daripada barang haram. Berbeda dengan teori konsumsi konvensional yang tidak
mengatur halal-haramnya suatu barang atau jasa. Dalam teori konsumsi Islam,
seorang muslim tidak hanya mengatur kebutuhan duniawi saja namun juga bertujuan
untuk mencapai falah (kemuliaan dan kemenangan hidup). Individu hendaknya
bijaksana dalam mengonsumsi segala kebutuhan dengan memperhatikan skala
prioritas, menyisihkan infak dan mengonsumsi barang yang halal untuk mencapai
falah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar