Kajian
Kontemporer SEF UGM perdana diselenggarakan pada Rabu, 13 Maret 2013 menguak
pengelolaan dana haji dengan menghadirkan pembicara Bhima Yudhistira-peneliti
di Shariah Corner FEB UGM serta moderator Shufi Al Ichsanu Brata-Kepala
Departemen Kajian SEF UGM.
Saat ini ekonomi
syariah diidentikkan dengan memenuhi pasar tenaga kerja bank syariah yang
disinyalir merupakan produk kapitalis. Sebagai bagian dari lingkup ekonomis syariah,
pengelolaan dana haji menjadi topik pada ekonomi syariah di sektor publik yang
menarik untuk dikritisi. Bagaimana pengelolaan sisa dana haji 58 triliun rupiah
di Kementrian Agama?
Saat ini pemerintah
cenderung lebih concern pada hal
teknis seperti catering dan pelayanan
teknis lainnya sedangkan hal-hal kecil yang penting seperti sisa dana
masyarakat yang jumlahnya menggembung malah tak tersentuh. Perbandingan studi
dengan Malaysia, sisa dana haji digunakan untuk mengambil alih perkebunan
kelapa sawit di Indonesia sehingga produktivitas dana haji sangat tinggi di
Malaysia. Sedangkan jika kita tengok Indonesia, total jumlah tabungan haji
Indonesia mencapai 32 triliun dari hasil deposit lebih kurang 1,4 juta daftar
tunggu haji di Indonesia. Dari 32 triliun tersebut di simpan di perbankan
syariah sebanyak 18,2 persen sebesar 60 persen tersimpan dalam bentuk Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) dan di simpan di bank konvensional 21,8 persen. Bhima
Yudhistira menyebutkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa pelaporan mengenai
penggunaan dana tabungan haji tidak lengkap seperti data pada tahun 2003 tidak
ditemukan data aliran dana tersebut.
Dana Abadi
Umat dalam rupiah diunakan untuk membeli sukuk (Surat Berharga Syariah Negara).
Sukuk adalah surat utang obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan untuk
hal-hal produktif (sektor riil). Negara menerbitkan sukuk untuk membiayai
anggaran APBN sebesar 783 M. Pemanfaatan dana haji masih terbatas pada financial sector belum banyak menyentuh
sektor riil.
Pertanyaanya,
mengapa disimpan dalam bentuk sukuk berupa rupiah maupun dollar? Mengapa harus
783M? Salah satu alasan dari hasil analisisnya, Bhima Yudhistira menyebut teori financial management dalam hal
diversifikasi risiko. Portfolio
management dalam mereduksi risiko keuangan menjadi alasan mengapa investasi
tersebut dilaksanakan sedemikian rupa. Jika secara teknis, pelaku lapangan
selalu menjawab bahwa hal tsb adalah perintah dan titah dari atasan, hal ini
cukup aneh. Hipotesis yang muncul adalah adanya ketidakmampuan mengelola dana
haji tersebut.
Dana Abadi
Umat (DAU) disimpan dalam Deposito (Rupiah), Deposito (US$), Sukuk (SBSN),
investasi lain (saham Bank Muamalat dan bank lainnya baik konvensional maupun
syariah). Sebenarnya investasi dana haji dapat disalurkan dalam hal lain,
misalnya bangunan tempat penginapan yang selalu digunakan untuk menginap jamaah
haji di Arab Saudi dapat dibeli dengan uang tsb. Akan tetapi politik dan
birokrasi selalu menjadi “excuse” tentang sulitnya mengambil kepemilikan tanah
penginapan tsb. Threat yang mungkin
muncul yang terus diselidiki KPK ialah celah-celah yang dapat ditimbulkan dari
ketidakmampuan mengelola keuangan di Kementrian Agama.
Sosialisasi mengenai pengelolaan dana
abadi umat sangat penting. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Oleh karena
itu, pengelolaan dana tsb harus berhati-hati. Belakangan wacana menyimpan dana
abadi umat di bank syariah muncul sehingga pengalokasian dana untuk menggerakkan sektor riil yang syariah terus
digerakkan. Akan tetapi untuk menangani dan memutar uang sebanyak itu tampaknya
bank syariah masih kesulitan. Namun terlepas dari isu tersebut, terdapat permasalahan
yang jauh lebih penting menurut narasumber, yaitu keadilan. Ketika
sektor-sektor riil masih membutuhkan dana, maka pengalokasian dana pada US$ itu
menjadi suatu bentuk ketidakadilan, jelas Bhima Yudhistira menanggapi sesi diskusi
dalam Kajian Kontemporer tiap sebulan sekali oleh SEF UGM. (Dept. Kajian-SEF
UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar