Kajian Kontemporer SEF UGM mengangkat tema “Carut
Marut Tata Niaga Pangan di Indonesia” diselenggarakan Kamis, 10 Oktober 2013 di
FEB UGM. Pembicara Triani Winastuti-aktivis mahasiswi Pertanian 2009 dan Akhmad
Akbar Susamto-dosen FEB UGM, dan moderator M. Faizal Ramadhan-staf Departemen
Kajian.
Triani memulai diskusi dengan sebuah
pertanyaan. Apakah petani senang ketika
harga pangan mahal? Jawabannya tentu petani senang karena petani lebih
sejahtera. Namun, Triani ketika mewawancarai petani cabai di Kulon Progo ia mendapati
bahwa petani belum sejahtera.
Sebenarnya produksi beberapa bahan
dalam negeri seperti bawang putih dan cabai mencukupi kebutuhan. Namun, impor
menyebabkan penurunan konsumsi barang lokal. Pemerintah berdalih bahwa impor
harus dilakukan padahal impor dari luar bukan kualitas terbaik. Oleh karena
itu, diperlukan ketahanan pangan. Namun, terlepas dari hal tsb kedaulatan
pangan menjadi perhatian yakni bagaimana kebutuhan pangan nasional dipenuhi
dengan produksi dari nasional.
Sebagai pemateri kedua adalah
Akhmad Akbar Susamto, M.Phil. Menurutnya, persoalan pertanian tidak lepas dari
kondisi bangsa secara menyeluruh. Kondisi menunjukkan salah insentif sehingga
menimbulkan adanya pusaran besar yang memaksa terjadinya fraud atau kejahatan. Yang berperilaku disiplin dan jujur mendapatkan
punishment. Yang jahat justru
mendapatkan reward. Maka pilihannya adalah
mengikuti arus atau dimusuhi.
Kejahatan dalam tata niaga pangan
ibarat mata rantai yang tak pernah putus. Dalam proses produksi, tengkulak
mengambil untung dari petani, biaya menjadi lebih besar dari pada pendapatan. Dalam
proses distribusi, impor disalahgunakan untuk mencari “untung” sehingga orang
bisa mendapatkan keuntungan pribadi. Namun, ekonomi konvensional tidak bisa
sepenuhnya disalahkan karena buktinya di negara lain kondisinya tidak demikian.
Jika isu ini dikaitakan dengan
ekonomi Islam sangat sedikit relevansinya. Sebagian besar dari kita berpikir bahwa
masalah pertanian bukanlah isu ekonomi Islam. Persoalan metodologis yang menghambat analisis
adalah paradigma bahwa ekonomi Islam identik dengan syariah yang hasil akhir
pendekatannya adalah halal-haram. Sehingga konsep mendasar yang penting
diperhatikan bahwa ekonomi Islam tidak terbatas pada penentuan halal dan haram.
Kerangka berpikir Islam dalam
memecahkan masalah ekonomi meliputi: (1) bagaimana kondisis yang ideal,
misalnya tengkulak dihilangkan, subsidi, dan penentuan harga dasar; (2) evaluasi
perilaku riil dalam ekonomi dengan riset; (3)
strategi pemecahan masalah, misal subsidi langsung; dan (4) implementasi
solusi.
Pertanyaan mendasar kita mengapa
petani miskin, salah satunya karena rendahnya harga dalam negeri sehingga
insentif bertani dan keunggulan komparatif relatif rendah. Akhirnya, solusi dengan
impor. Padahal menurut riset, petani Indonesia mengalami keterbatasan lahan
sehingga penyimpanan terbatas dan kelangkaan mengakibatkan impor.
Petani merupakan kultur bukan
pekerjaan profesional. Pendidikan rendah mengakibatkan posisi tawar rendah dan
petani tidak mendapat keuntungan maksimal. Konsekuensinya, petani sulit membudidayakan
lahan pertanian. Adanya stigma petani dekat dengan kemiskinan turut menurunkan perhatian
terhadap pengembangan sektor pertanian.
Solusinya, perlu ada reformasi
agraria. Produksi tetap dilakukan sehingga ekspor dapat dipertahankan. Abaikan
keunggulan komparatif sehingga bukan
impor yang tinggi namun usaha untuk ekspor. Instrumen kebijakan menstabilkan
harga tidak efektif, lebih baik subsidi secara langsung. Perlu peningkatan insentif
berbentuk asuransi sehingga petani tidak ragu untuk menanam modal karena adanya
asuransi.
Kesimpulan dari Kajian Kontemporer
mengenai carut marut tata niaga pangan bahwa impor hampir terjadi di semua
sektor. Namun, sistem konvensional tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Peraturan
yang ada cukup memadai tetapi mata rantai kejahatan perlu dihilangkan. Solusi
yang bisa dilakukan tetapi membutuhkan pengkajian, bagaimana memutus mata rantai
tengkulak. (Doddy-PSDM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar