Jumat, 18 Maret 2011

Masalah Mafia Pajak. Sebuah Pandangan dari Segi Politik, Hukum, dan Ekonomi

Tulisan ini adalah resume dari acara Kajian Intelektual Bersatu FEB UGM.

Mafia Pajak. Dua kata ini mungkin adalah kata yang sering didengar oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Secara umum, masyarakat memandang hal ini sebagai sebuah masalah hukum yang serius. Berbagai kejahatan tingkat tinggi sistemik yang pelakunya harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Pandangan ini memang benar. Tetapi, masalah mafia pajak sebenarnya adalah sebuah masalah yang tidak dapat hanya dikaji dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi politik dan sisi ekonomi. Pemahaman menyeluruh ini amat penting.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Politik
Oleh M. Adi Ikhsanto (dosen FISIP UGM)

Sekarang ini, ada kecenderungan gagalnya sistem birokrasi di Indonesia yang disebabkan oleh berbagai masalah politik, terutama kegagalan terciptanya konsolidasi elite politik di Indonesia. Sebenarnya, konsolidasi politik dapat dikatakan elit jika memiliki resource yang berkualitas, seperti para pemimpin dan anggota partai yang berkualitas. Tetapi, seperti yang kita lihat belakangan ini, banyak ‘elit’ politik yang dapat mencapai posisinya bukan karena kualitas mereka, tetapi karena hal-hal lain. Akibatnya, konsolidasi elit politik gagal dan menyebabkan munculnya politik yang profit-oriented.

Politik yang profit-oriented akan menyebabkan kegagalan birokrasi, terutama di negara yang bersistem politik seperti di Indonesia. Birokrasi di Indonesia amat terpengaruh oleh politik. Parlemen (dan berarti partai politik) dapat ikut campur di berbagai urusan birokrasi. Padahal seharusnya birokrasi yang ideal bebas dari kepentingan politik. Akibat usaha mengambil keuntungan di dalam birokrasi (yang disebakan kuatnya kepentingan politik), kita mengenal berbagai masalah, termasuk yang sedang kita bicarakan sekarang ini, yakni mafia pajak.

Mengingat pentingnya kesehatan birokasi, sekarang ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi. Reformasi yang perlu kita perhatikan adalah reformasi di Departemen Keuangan yang sudah dimulai sejak masa Menteri Keuangan Sri Mulyani. Public Accountability adalah focus dari reformasi di Departemen Keuangangan. Reformasi di departemen ini amat penting mengingat posisi Departemen Keuangan yang amat strategis karena 1) mempunyai lebih dari 60.000 PNS di seluruh Indonesia dan 2) mempunyai income-generating organizations yang amat penting, seperti Dirjen Pajak.

Reformasi di Departemen Keuangan diarahkan kepada:
  • Desain etik dan kognisi yang pantas dan appropriate.
  • Penataan birokrasi yang berkorelasi dan bertanggungjawab, dapat menimbulkan kompetisi individu-individu  yang ada di dalamnya.
  • Penataan renumerasi birokrasi. Departemen keuangan menyadari betul bahwa mereka adalah income-generating. Sehingga remunerasi berusaha dilakukan untuk memuaskan para karyawan untuk tidak melakukan berbagai tindakan illegal untuk menambah keuntungan
  • Penegakan kontrol dan pengawasan birokrasi.Desain pertanggungjawaban birokrasi. Dilihat dari system operasi manajemen memang tidak ada mafia pajak, namun terdapat power relation dalam institusi negara. Lingkungan politik tidak cukup kondusif untuk menjalankan sistem birokrasi.

Jika dilihat sekilas, birokrasi di Departemen Keuangan sudah amat terstruktur sehingga seharusnya tidak muncul mafia pajak. Masalahnya, Departemen Keuangan adalah sebuah institusi negara. Akibatnya, birokrasi di departemen ini pada akhirnya juga akan terpengaruh oleh kepentingan politik.

Hal ini disebabkan karena lingkungan politik kita tidak sehat untuk kepentingan birokrasi. Seharusnya, lingkungan birokrasi bebas dari kepentingan politik. Tetapi, seperti yang kita lihat dalam politik kita, ketika sebuah partai menang dalam pemilu, deal politik dan berbagai kepentingan mereka pada akhirnya mengatur-ngatur masalah birokrasi yang seharusnya bekerja secara independen. Para politisi akan berusaha untuk mengintervensi kegiatan birokrasi untuk mendukung kepentingan mereka.

Kuatnya peran politik di dalam birokrasi juga menyebabkan terjadinya diskresi. Diskresi berarti menerjemahkan aturan sesuai dengan kepentingannya. Semakin kuatnya kepentingan politik di dalam birokrasi, semakin banyak terjadi transaksi politik, yang akhirnya menyebabkan diskresi tak terkendali yang dilakukan oleh para pelaku transaksi itu, seperti
  1. Birokrasi sebagai sumber keuntungan tertentu, yang acap kali dijadikan sebagai mesin politik dalam sejumlah kampanye politik,, yaitu adanya street level, middle, dan top level.
  2. Sumber patronase, artinya untuk keuntungan politik dalam menginisiasi kepentingan.
  3. Sebagai sumber loyalitas politik

Kuatnya pengaruh politik menyebabkan terjadinya dilema birokrasi, seperti dilema kompetensi dan otoritas. Maksudnya, birokrasi pastinya memiliki akses yang baik di berbagai bidang, seperti memiliki pekerja yang kompeten dan sumber dana. Kuatnya kepentingan politik di dalam birokrasi menyebabkan berbagai akses dan sumber daya yang dimiliki birokrasi tidak lagi digunakan untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan otonom kelompok tertentu yang sering berbeda dengan kepentingan publik.

Dilema bagi birokrasi Indonesia juga muncul dalam interaksi politik. Aturan di Indonesia-lah yang menyebabkan dilema tersebut. Contohnya, 1) birokrasi diharapkan bebas dari intervensi politik tetapi juga harus diawasi oleh politik, seperti munculnya fit and proper test yang dilakukan oleh DPR, dan  2) kegiatan birokrasi merupakan tanggung jawab kementerian tetapi mereka juga harus mempertanggungjawabkan diri sendiri.

Contoh terbaik dari hal ini mungkin adalah ancaman masalah reshuffle cabinet. Dengan sistem presidensiil yang kita anut, seharusnya tugas para menteri lepas dari kepentingan partai. Seharusnya mereka murni dipilih sesuai kemampuan dan bekerja sesuai tugas dan bidangnya. Tetapi, pada kenyataannya, seperti yang kita lihat, dalam pemilihannya, para menteri amat terikat dengan partai, dan ketika terjadi gonjang-ganjing politik di parlemen, mereka juga terkena getahnya.

Nah, jika sekarang kita kembali ke masalah mafia pajak, mungkin kita sudah memahami masalah ini lebih jauh sekarang. Mafia pajak adalah sebuah kejahatan terstruktur, yang disebabkan oleh politik profit-oriented yang dilakukan oleh berbagai pejabat birokrasi. Berbagai posisi dalam birokrasi (contohnya, Dirjen Pajak) amat mungkin terisi melalui berbagai deal-deal politik. Akibat kuatnya berbagai pengaruh dan kepentingan, ditambah dengan keinginan untuk mendapat keuntungan, bermunculan-lah berbagai mafia pajak.

Lalu, bagaimana menghilangkan masalah mafia pajak ini? Hal penting yang perlu dilakukan adalah melenyapkan politik profit oriented ini. Politik ini tercipta karena politik high-cost di Indonesia. Partai ataupun calon harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk memenangi pemilihan. Akibatnya, hal pertama yang terpikir oleh mereka ketika menang adalah mengembalikan biaya tersebut. Menghilangkan politik high-cost di Indonesia dapat secara drastis menurunkan keinginan mencari untung di politik (dan brokrasi), termasuk di Dirjen Pajak.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Hukum
Oleh Prof. Dr. M. Arief (dosen FH UGM)

Hal utama yang harus diperhatikan dan diketahui dalam memandang masalah mafia pajak dari segi hukum adalah perbedaan antara hukum pidana umum dengan hukum pajak (termasuk hukum pidana pajak). Hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum pajak bersifat persuasif. Berarti, hukum pajak berbeda dengan hukum pidana umum dimana pelanggarnya akan langsung dihukum. Pada hukum pajak, jika seorang warga negara melakukan pelanggaran (seperti tidak membayar pajak) maka si pelanggar harus dibujuk untuk mebayar pajak dahulu.

Jika semua cara persuasif gagal, baru hukum pidana pajak digunakan. Hukum pidana pajak adalah hukum tertua paling khusus yang digunakan bila semua pendekatan lain tak dapat digunakan. Tetapi, hukum ini tetap menganut sifat persuasif. Artinya, bila di tengah proses hukum si pelanggar bersedia membayar pajak maka proses hukum harus dihentikan. Perbedaan metode persuasi dan represif inilah yang perlu dimengerti dalam pembahasan kasus mafia pajak.

Perbedaan antara hukum pidana pajak dengan hukum pidana umum ini-lah yang menimbulkan masalah, seperti perbedaan cara berpikir dan sudut pandang dalam penegakannya. Contohnya, aturan pajak negara kita mengenal self assessment (penghitungan pajak sendiri). Ketika terjadi perbedaan besarnya pajak dari self assessment dengan tagihan, wajib pajak berhak melakukan keberatan. Tetapi, ia harus membayar dahulu sesuai SPT (tagihan pajak). Jika keberatan itu dikabulkan, negara harus mengembalikan kelebihannya sebagai restitusi ditambah bunga 5 %. Pengembalian kembali ini memang merugikan negara. Akibatnya, orang-orang dituntut tindak pidana korupsi karena merugikan keuangan negara, padahal seperti itulah aturan perpajakan! Inilah mengapa pelanggaran di sektor pajak hanya dapat disadari oleh orang-orang pajak dan tidak dapat ditentukan dengan hukum pidana umum.

Selain itu, jika kita bicara tentang korupsi kita tidak hanya berbicara tentang korupsi dalam penerapan aturan. Sebenarnya, korupsi sudah dimulai sejak masa pembuatan aturan. Dalam pembuatan aturan, korupsi sudah terjadi saat terjadinya berbagai deal-deal politik yang menguntungkan suatu kelompok tertentu. Jadi, bagaimana mungkin aturan hukum dapat digunakan untuk memberantas korupsi jika dalam proses pembuatannya sudah mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

Bagaimana cara mengatasi masalah mafia pajak? Pembenahan aturan perpajakan. 1) pembinaan karakter dari para pengurus pajak sendiri 2) masalah transparansi dan akuntabilitas di sektor perpajakan 3) pengadaan sistem penyidikan dengan aturan dan mindset sesuai aturan perpajakan yang berbeda dengan aturan tindak pidana korupsi, karena seperti yang telah dijabarkan tadi, sifat kedua hukum tersebut berbeda. Jadi, dalam penyidikan dan pengadilan tindak pidana pajak, harus digunakan aturan terpisah dan tidak dikait-kaitkan dengan aturan pada tindak pidana korupsi.

Masalah Mafia Pajak Dipandang dari Segi Ekonomi
Oleh Rimawan Pradiptyo (dosen FEB UGM)

Korupsi di Indonesia memang telah memasuki level ‘expert’. Kita hampir selalu menemukan tindak korupsi di setiap kegiatan yang menggunakan dana, baik dalam jumlah besar ataupun kecil.

Ada istilah yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena ada niat dan kesempatan. Korupsi merajalela di negara kita karena banyaknya kesempatan yang tersedia. Pertama adalah masalah dokumentasi yang berantakan. Seberapa baiknya dokumentasi menentukan seberapa baiknya kualitas data yang dimiliki. Jika dokumentasi tidak jelas akan menyebabkan bias data. Padahal data-data kependudukan ini-lah yang digunakan sebagai dasar berbagai kebijakan, seperti BLT, pembagian raskin, sampai yang akan dilakukan yakni pembatasan BBM bersubsidi. Pada data yang bias inilah para koruptor bermain, termasuk para mafia pajak.

Kedua, masalah insentif di negara kita yang berantakan. Sistem insentif di negara kita sebenarnya merupakan peninggalan masa kolonial, dimana para penjajah beranggapan bahwa untuk mendorong semangat kerja diperlukan pemberian insentif untuk setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem insentif sekarang juga masih sama. Dalam berbagai slip gaji kita dapat melihat dua poin utama; gaji pokok dan penghasilan bersih. Gaji pokok seorang PNS golongan IIIA mungkin relative sama, tetapi dapat sangat berbeda dengan adanya berbagai tunjangan. Plus, berbagai insentif lain seperti uang rapat, uang lembur, uang perjalanan, dll. Hal ini mengakibatkan perbedaan besar antara gaji dan take-home pay (penghasilan yang dinikmati).

Gaji pokok yang kecil menuntut pegawai untuk mencari tambahan penghasilan dari berbagai tunjangan. Gaji kecil menyebabkan orang-orang melakukan assessment yang sesuai dengan apa yang mereka anggap haknya. Di sini lah korupsi dapat (dan paling mungkin) terjadi.

Jika kita ingin mengetahui apakah sistem insentif di negara kita berjalan baik atau tidak, kita harus menilik lembaga-lembaga pemerintah. Di antara semua lembaga pemerintah, hanya Bank Indonesia yang terbuka tentang penghasilan orang-orangnya. Ini karena gaji yang mereka dapatkan memang setara dengan take-home pay nya.

Cara untuk mengatasi ini adalah perombakan pada sistem insentif kita. Seorang pegawai seharusnya mendapat gaji saja, tanpa embel-embel tunjangan lain. Tentu, besarnya gaji itu harus sepadan (tidak terlalu rendah seperti yang kita alami sekarang). Gaji itu sudah termasuk berbagai insentif dari tugas-tugas dan kegiatan yang ia lakukan sebagai tugasnya. Dengan begitu, gaji = take-home pay. Ini akan semakin memperkecil peluang korupsi.

Jadi, dapat dikatakan bahwa masalah mafia pajak sebenarnya merupakan ‘puncak gunung es’ dari rapuh dan berantakannya sistem kita yang sialnya sudah kita terapkan sejak zaman penjajahan dan tak ada niat dari kita untuk mengubahnya. Contohnya saja, jika sistem pengadministrasian berjalan rapi dan tak dapat dimanipulasi, para mafia pajak tentunya tak dapat berbuat apa-apa untuk memanipulasi. Begitu pula dengan sistem insentif. Seandainya tidak ada berbagai tunjangan, dengan kata lain besarnya penghasilan sudah dipatok, maka tak akan muncul berbagai tindak pidana korupsi. Kegiatan illegal itu akan langsung tercium karena si pelaku mendapat penghasilan yang jauh lebih besar daripada seharusnya, padahal bayaran sudah dipatok sehingga setiap orang tidak mungkin mendapat penghasilan lebih dari itu.

Masalah lain adalah pada aturan yang menyarankan koruptor untuk korupsi sebesar-besarnya. Penjabaran ini mungkin memang agak ekstrem. Tetapi, jika ingin mengetahuinya kita tilik kembali undang-undang yang mengatur hukuman bagi para koruptor. Jika kita perhatikan, tampak dengan begitu harfiahnya bahwa semakin besar jumlah uang yang dikorupsi, semakin besar pula keuntungannya. Hal ini dihitung dari denda yang harus dibayar. Jadi, dapat dikatakan bahwa aturan negara kita ‘menyarankan’ untuk melakukan korupsi secara ‘profesional’ dan jangan setengah-setengah.